mee

27.8.11

Bukan Aku

“ Andre nya ada Tante”, sapa ku lembut pada Tante Nia, mamanya Andre, yang sedang sibuk menyemprotkan desinfektan pada koleksi tanaman anthurium-nya.
“ Oh, Dinda, masuk aja Din, lama kamu gak ke sini. Sibuk ngurusi kuliah ya? Tunggu sebentar ya, biar tante panggilin Andrenya dulu, dasar pemales tuh anak, paling-paling lagi ngurusin ikan koi di aquariumnya. Gak tahu ni, Din, menurut tante, akhir-akhir ini dia jadi anak autis yang kerjaannya sehabis kuliah cuma berkutat sama ikan. Kamu sih jarang main ke sini, paling gak dia kan jadi ada temen ngobrol “manusia“nya, daripada tiap hari ngomong sama ikan melulu”, cerocos tante Nia panjang lebar, sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah, sementara aku hanya mendengarkan cerocosannya tadi sambil duduk gugup di teras depan.
Ku dengar degup langkah kaki mendekat. Aku mendadak takut. Keberanian yang semula berkobar menuntunku ke tempat ini mendadak lenyap entah ke mana.
Terdengar decitan kursi ditarik,” Ada apa?”, suara itu memecah keheningan di antara kami.
Aku terdiam, terlalu sibuk bergumam dengan pikiranku, serangkaian kalimat yang sudah ku persiapkan sejak dari rumah tadi, mendadak hilang, menguap bersama udara. Berjuta kata sudah berjejal ingin di muntahkan dari mulutku. Namun, lagi-lagi bibirku terkatup rapat. Aku diam, kelu, membisu.
Andre, menarik tanganku, dan dalam sekejab kami sudah berada di dalam mobil camry hitamnya. Mobil ini sungguh penuh kenangan bagiku. Di sini pertama kali dia menyatakan perasaannya, berjanji untuk terus menyayangiku, dan sekarang di sini pula lah, aku harus mengakhiri ini semua. Pergumulanku yang menguras pikiran dan  meneteskan buliran airmataku.
Mobil itu akhirnya menepi di sebuah jalanan lengang, dekat hutan kota, tak ku tahu tempat itu secara jelas, tapi sedikit perasaan tenang kini mulai menyergapku. Perlahan ku dapati kembali keberanian yang semula membimbingku menemui Andre, meski dadaku juga dipenuhi rasa sesak yang luar biasa.
“ Berhari-hari aku telpon kamu, kamu gak pernah angkat, aku sms gak kamu bales, aku samperin kamu ke kampus, kamunya gak ada, aku ke rumah kamu, kamunya gak ada juga. Ada apa dengan kamu Din?”, katanya sembari menatapku, bergegas ku alihkan pandanganku ke depan mencari pijakan yang selama ini aku andalkan.
“ Kamu udah gak sayang sama aku, atau kamu lagi gak pengen diganggu? Bilanglah Din,...jangan diam dan semakin ngebuat aku jadi gak ngerti kayak gini”.
Ku genggam tanganku erat-erat, mencoba sejenak merasakan debaran jantungku. Meyakinkan diriku sendiri bahwa ia masih menempati tahta tertinggi di hatiku, yang entah sampai kapan sosok lelaki berkulit putih, beramput hitam legam, dan berlesung pipi itu, mampu ku hapus dari ukiran hatiku, sementara setiap inchi sel tubuhku seakan sudah sangat terbiasa dengan siluet wajahnya.
“Ndre,....maafin aku kalo akhir-akhir ini aku agak ngejauh dari kamu, bukannya aku gak sayang sama kamu, kalo ditanya apa aku masih sayang sama kamu, jelas aku jawab iya. Sampai saat ini kamu satu-satunya lelaki yang bisa ngebimbing aku melewati setiap badai dalam hidupku dengan sabar, kamu satu-satunya orang yang tetap mau menghargai dan memberi kepercayaan kepada ulat seperti aku, bahwa aku sanggup menjadi kupu-kupu, meski jujur, aku sendiri masih agak ragu, apakah aku sanggup melewati fase kepompongku tanpa kamu”.
Mendadak ku peluk erat Andre mencium aroma tubuhnya selama mungkin. Ya mungkin ini memang untuk yang terakhir kali.
Sementara Andre,...hanya memandangku dengan tatapan bingung.
“Andre, maaf aku harus pergi”, kataku seraya memeluknya sekali lagi dan meninggalkannya, berlari secepat mungkin.
Sekilas ku lihat Andre, hendak berlari menyusulku. Namun, diurungkan niatnya, dan menyerah, menutup kedua wajahnya, lalu berbalik masuk ke mobil.
Air mata pun tak mampu ku bendung, aku menangis dalam ketidakberdayaan ku melawan cinta. Aku sangat menyayanginya, tapi ada sesuatu di dalam hatiku yang merasakan kelegaan luar biasa ketika aku melepaskannya. Ku telusuri jalan sepanjang rumahku dengan senyum tersungging, aku merasa telah melakukan hal yang seharusnya ku lakukan, meski pedih menggerogoti batin dan jiwaku.
Sesampainya di kamar, ku dapati sebuah message dari Andre,...”  Dinda, aku gak tahu, apa arti dari semua ini, tapi jika ini menurutmu yang terbaik untuk kita, aku terima. Meski terlampau sulit untukku,....Aku akan mencoba mengerti meski tanpa ku ketahui, aku mencoba paham, dalam usahaku mencari alasan,.....
Kubaca message itu, dengan air mata mengalir. Alasan itu sudah ada Ndre, meski terkadang kita mencoba untuk mengabaikannya, bisikku dalam lirih.
***
Sore itu hujan deras, petir menyambar tanpa ampun. Kilat terus memainkan cahayanya. Ku pandangi tetesan air yang lebat mengalir dari langit lewat jendela kamarku. “Sial”, gumamku pelan. Hari ini aku rencananya ingin ke rumah Andre, menjenguknya yang udah dua hari ini sakit flu dan demam gara-gara nekat main basket di lapangan outdoor.
“Kamu udah baikan kan Ndre? Pinguin masih butuh lemak buat menghangatnya tubuhnya gak? Rencananya aku mau ke rumah kamu, udah aku masakin sop ayam kesukaan kamu, tapi ujan deres ni Ndre. Gimana ya?”, ketikku singkat pada layar hp dan segera memencet tulisan send secepat mungkin”.
Dua jam berlalu, dan Andre tak jua membalas smsku. Ku telpon tapi nomor hp nya selalu tidak aktif. Berbagai spekulasi dan pikiran akan kejadian buruk yang menimpa Andre terus mengusik benakku.
Akhirnya kuputuskan untuk mengeluarkan mobil, berusaha melawan phobiaku berkendara pada saat hujan deras. Sejak remaja aku trauma dengan hujan, dengan kilatnya yang membuat aku silau, dengan suara gemuruh petirnya yang mengantarkan, Angga, kakak semata wayangku menemui tangga surganya, pada kecelakaan lalu lintas  lima tahun lalu. Saat itu dokter yang bertugas merawat Kak Angga adalah Paman Sammy, ayah dari Andre. Dari situlah, kami saling mengenal satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius, dari dua tahun yang lalu.
Sekitar satu jam aku telah sampai di rumah Andre, perasaan takut, gemetar, masih melekat erat meski sekarang posisiku bukan berada di belakang kemudi. Namun aneh, saat aku sampai di rumah Andre, kata mbok Nem, pembantu di rumah Andre, Andre sudah keluar sejak siang saat hujan deras tadi. “Mbok tahu gak mas Andre nya pergi ke mana?”,tanyaku pada mbok Nem.
“Mas Andre nya masih sakit ya mbok? Kok dia malah keluar?”, tanyaku kembali dengan harap-harap cemas.
“Waah, mbok juga gag tahu non, mungkin urusan yang penting banget ,soalnya kesehatan mas Andre belum sembuh bener, tadi siang panas tubuhnya masih tinggi”.
“Ya udah, saya tunggu mas Andrenya aja deh mbok. Mbok Nem nerusin kerjaan di belakang aja gak papa kok, ntar saya malah ganggu mbok lagi”, ucapku pada mbok Nem lalu mencoba menenangkan pikiranku dengan membaca majalah yang ada di ruang tamu.
“Baik non kalo begitu, mbok ke belakang dulu ya,..kalo ada apa-apa panggil mbok aja”, jawab Mbok Nem lalu meninggalkanku sendirian.
Dua jam berlalu, sosok yang ku tunggu akhirnya datang juga.
“Ya ampun kamu dari mana aja sih Ndre? Kamu gak papa kan?”, kataku sambil menyambut Andre yang terhuyung masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah kuyup.
Belum sempat ia menjawab pertanyaanku, tubuh lemasnya dan akhirnya tumbang. Andre pingsan dalam pelukanku.
Semalaman kujagai Andre tanpa sedetikpun melepaskan pengawasanku darinya, sungguh aku begitu mengkhawatirnya. Suhu tubuhnya yang tak kunjung turun malah semakin meningkat, membuatku semakin cemas.
Hingga pada akhirnya, di saat mataku mulai lelah terjaga. Andre terus menggigau, mengucap satu nama yang membuat batinku semakin remuk. Hati perempuan mana yang tak akan terluka saat kekasih yang dicintainya ternyata begitu memikirkan wanita lain selain dirinya. “Sebegitu pentingkah Okta dihidupmu Ndre? Jika itu memang dapat membuat kamu lebih baik, aku ikhlas demi kamu”, ucapku sendu disertai hati yang bagai diiris sembilu. Dalam hati aku berjanji akan merelakan Andre dengan Okta, saat Andre sembuh nanti, toh,…ternyata bukan aku yang dibutuhkan Andre saat ia tergolek tak berdaya seperti sekarang ini. Bukan namaku yang disebut meski aku ada dan terjaga untuknya.
Dan meski ketika Andre sembuh ia jujur padaku mengenai kepergiaannya bersama Okta, karena waktu itu Okta sedang dirundung masalah dengan mantan kekasih barunya yang suka meneror dan main kasar padanya. Sudah kubulatkan tekadku untuk melepaskan Andre dari hatiku. Meski akan terasa begitu berat untukku.
***
Mas Andre, ini saya temukan di jaketnya mas Andre,...untung belum saya masukin mesin cuci, pasti barang penting, wong bentuknya aja berkilau-kilau gitu kok”, Kata mbok Nem. Andre terkejut menerima bungkusan CD itu, seingatnya ia tak pernah memasukkan CD ke dalam jaketnya, setelah mengucapkan terima kasih kepada Mbok Nem, Andre bergegas masuk kamar, dan memasukkan CD itu ke dalam disk player laptopnya.
Tak lama muncul, tayangan seseorang yang amat di kenalnya,....”Dinda”. Pikirannya tertuju pada kejadian saat Dinda memeluknya sambil berlinang air mata di mobil kemarin siang.
“ Terima kasih untuk semua perhatian kamu, calon dokter muda terhebat yang pernah ku temui. Berlaksa syukur ku  ucap kepada-Nya, karena sudah mengijinkan aku untuk mengenalmu lebih dekat. Terima kasih karena sudah mau menjadi pantai yang selalu menerima ombak seperti aku untuk kembali pulang. Terima kasih karena telah mau menjadi warna ketika aku merasa hampa,...entah hitam, merah, abu-abu, ataupun ungu,...ijinkan aku menyimpannya dan menggengggamnya erat-erat. Jangan ada air mata Ndre,....matamu terlampau indah untuk meneteskannya,....dan jika aku boleh meminta, biarlah, airmata takkan pernah ada dalam hidupmu.
Perlahan potret wajah itu hilang, di gantikan oleh sayup-sayup suara band samsons dengan lagunya, ‘ Bukan diriku”.....
Setelah ku pahami, ku bukan yang terbaik yang ada di hatimu, tak dapat ku sangsikan, ternyata dirinyalah yang mengerti kamu, bukanlah diriku,...Kini maafkanlah aku, bila ku menjadi bisu kepada dirimu. Bukan santun ku terbungkam, hanya hatiku terbatas tuk mengerti kamu, maafkanlah aku. Walau ku masih mencintaimu,ku harus meninggalkanmu, ku harus melupakanmu, meski hatiku menyayangimu, nurani membutuhkanmu, ku harus merelakanmu. Dan hanyalah  dirimu, yang mampu memahamiku, yang dapat mengerti aku, ternyata dirinyalah, yang sanggup menyanjungmu, yang ramah menyentuhmu, bukanlah diriku,.....”
Bersamaan dengan berakhirnya lagu itu, wajah Dinda kembali hadir menyunggingkan senyum, sekaligus air mata bahagianya, karena telah mampu melepaskan beban yang selama ini coba ia pendam.
“ Seberapa besar pun, kamu sayang sama aku, aku tahu, bukan aku yang sanggup benar-benar memahamimu Ndre, aku tahu, kamu masih terlalu sayang pada Okta, pada wanita yang di sana pertama kali perahu kasih kamu berlabuh, dan meski kamu sudah berjuang untuk kembali melanjutkan pelayaran denganku, aku juga tahu, bahwa sesungguhnya jangkar kamu masih terpaut dalam di sana. Coba tengok hati kamu Ndre, yakinkan aku bahwa aku benar, agar apa yang aku lakukan ini tidak sia-sia. Terimalah Okta kembali karena sekarang tak ada alasan bagimu untuk menolaknya lagi”. Teruntuk Andre, pinguin kecilku yang telah rela membagi kehangatannya dengan ulat seperti aku,.....terima kasih banyak.
Andre menangis sejadi-jadinya, baru kali ini ia merasakan rasa yang benar-benar sulit ia ungkapkan, antara kaget, lega, dan haru bercampur aduk dalam hatinya.
Perlahan, dibukanya dompetnya, dibalik foto senyum Dinda yang menghiasi tempat foto selama kurang lebih 2 tahun ini dalam dompetnya, terdapat wajah cantik Okta yang ternyata sampai saat ini tak mampu dilupakannya.
Seraya mencium foto Dinda untuk yang terakhir kalinya, Andre kembali menangis,....” Terima kasih Dinda”
***
Dan kini Dinda tahu, bahwa ia telah melakukan hal yang benar, setelah 1 tahun ia melepaskan Andre, sebuah undangan bernuansakan ungu, datang di kostnya.
Sebuah surat terselip di dalamnya, “ Untuk ulat yang kini telah jadi kupu-kupu, terima kasih untuk segalanya, ternyata seekor ulat lebih bisa bertahan dalam dingin daripada seekor pinguin, satu hal yang kamu harus tahu, kamu wanita terhebat yang pernah ku temui. No one other like you......
Dinda tersenyum membaca surat itu, sekaligus merasa remuk pada saat yang bersamaan.
Namun, sekali lagi aku tahu, bahwa aku sudah melakukan hal yang benar,.....1 tahun lalu.
Ditemani gerimis malam, Depok, Desember 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...